AS Perluas Sanksi Terhadap ICC: Ancaman bagi Keamanan Dunia?

Pengantar: Mengapa AS Memperluas Sanksi terhadap ICC?

Amerika Serikat telah lama memiliki hubungan yang kompleks dengan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court atau ICC). Sebagai lembaga yang bertujuan menegakkan hukum internasional atas kejahatan berat seperti genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan, ICC sering kali memposisikan dirinya sebagai pengawas keadilan global. Namun, kehadiran ICC juga memicu ketegangan dengan berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, yang menyatakan keprihatinan atas masalah kedaulatan dan yurisdiksi.

Langkah terbaru AS memperluas sanksi terhadap ICC menyoroti eskalasi lebih lanjut dalam hubungan bilateral ini. AS berargumen bahwa tindakan ini diperlukan untuk melindungi kepentingan nasional serta personelnya dari tindakan potensial yang disebut “bermotif politik.” Perdebatan ini mulai memanas ketika ICC mengumumkan niatnya untuk menyelidiki tindakan militer Amerika di Afghanistan dan kemungkinan kejahatan perang yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Pemerintah AS menilai penyelidikan tersebut sebagai ancaman langsung terhadap kedaulatan negaranya.

Sejumlah tokoh dalam pemerintahan AS meragukan legitimasi ICC karena dinilai tidak bertanggung jawab kepada negara-negara yang tidak menandatangani Statuta Roma. Kritikus juga menyebut mekanisme pengadilan ini rentan terhadap bias politik. Sebagai tanggapan, sanksi tambahan yang diberlakukan mencakup pembatasan perjalanan terhadap pejabat ICC serta pembekuan aset yang mereka miliki di wilayah yurisdiksi AS.

Peningkatan sanksi ini juga menimbulkan spekulasi internasional tentang implikasi terhadap hubungan diplomatik global dan kerja sama internasional dalam memerangi kejahatan berat. Seiring kebijakan ini, muncul pula kekhawatiran tentang dampak jangka panjang terhadap persepsi dunia mengenai komitmen AS terhadap sistem hukum internasional.

Sejarah Hubungan AS dan ICC: Tinjauan Singkat

Hubungan antara Amerika Serikat (AS) dan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) telah menjadi salah satu dinamika yang kompleks dalam arena internasional. ICC, yang didirikan berdasarkan Statuta Roma pada tahun 1998, bertujuan untuk mengadili kejahatan berat seperti genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, sejak awal pembentukannya, AS tidak pernah meratifikasi Statuta Roma, meskipun pernah menandatanganinya pada tahun 2000 di era pemerintahan Presiden Bill Clinton.

Ketidakberatan AS terhadap Statuta Roma bersumber dari sejumlah kekhawatiran. Pemerintah AS, terutama di bawah pemerintahan Presiden George W. Bush, menyatakan kekhawatiran bahwa yurisdiksi ICC dapat digunakan untuk menargetkan tentara dan pejabat AS yang terlibat dalam operasi militer di luar negeri. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa ICC dapat bersifat politis, menciptakan risiko bagi kebijakan luar negeri dan keamanan nasional AS.

Pada tahun 2002, AS bahkan mengeluarkan Undang-Undang Perlindungan Anggota Layanan Amerika (American Service-Members’ Protection Act atau ASPA). Undang-undang ini memberikan perlindungan hukum bagi personel militer AS dari kemungkinan ekstradisi ke ICC dan memberikan wewenang kepada presiden untuk mengambil tindakan yang diperlukan guna membebaskan warga AS jika mereka ditahan atas perintah ICC.

Hubungan semakin memanas pada tahun 2020 ketika ICC membuka penyelidikan terhadap dugaan kejahatan perang oleh pasukan AS di Afganistan. Dalam merespons langkah tersebut, pemerintahan Presiden Donald Trump menerapkan sanksi ekonomi dan pembatasan visa kepada pejabat tinggi ICC. Kebijakan ini menandai titik terendah hubungan AS dan ICC, mencerminkan ketegangan antara komitmen terhadap keadilan internasional dan prioritas strategis nasional.

Meskipun pemerintahan Presiden Joe Biden mencabut beberapa sanksi pada tahun 2021, AS tetap mempertahankan posisinya yang skeptis terhadap ICC. Perdebatan tentang hubungan ini terus berlangsung, menjadi isu yang melibatkan pertimbangan hukum, politik, dan militer.

Motivasi di Balik Sanksi AS Terhadap ICC

Pemerintah Amerika Serikat secara konsisten telah menunjukkan ketidakpuasan terhadap langkah-langkah yang diambil oleh Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC). Sanksi yang diterapkan terhadap lembaga ini tidak datang tanpa dasar atau latar belakang, tetapi mencerminkan motivasi politis dan strategis. AS menilai bahwa ICC sering kali melampaui batas yurisdiksinya dan mengancam kedaulatan negara-negara berdaulat, termasuk Amerika Serikat sendiri.

Adanya penyelidikan terhadap dugaan kejahatan perang yang dilakukan oleh pasukan AS di Afghanistan menciptakan ketegangan yang signifikan antara pemerintah AS dan ICC. AS menganggap langkah tersebut sebagai serangan langsung terhadap kebijakan luar negeri dan martabat nasionalnya. Pemerintah AS memandang ICC sebagai lembaga internasional yang tidak kompeten untuk menyelidiki warga negara Amerika tanpa persetujuan dari otoritas nasional terkait.

Motivasi utama di balik sanksi ini juga berakar pada pandangan bahwa ICC telah digunakan secara politis untuk menyudutkan negara-negara tertentu, sementara negara-negara lain mendapatkan perlakuan yang lebih lunak. Para pembuat keputusan di Washington percaya bahwa institusi ini tidak menawarkan keadilan yang netral dan tidak terpengaruh oleh kepentingan geopolitik. Sebagai salah satu kekuatan dunia yang mendominasi di berbagai bidang, AS khawatir ICC dapat menjadi alat yang memperlemah pengaruh globalnya.

Selain itu, AS berpendapat bahwa sanksi terhadap ICC bertujuan untuk melindungi individu-individu dan institusi yang dianggap penting bagi keamanan nasionalnya. Dengan mengambil pendekatan seperti ini, AS berharap dapat mencegah ICC dari upaya yang dianggap bermaksud membatasi kebijakan militer dan diplomasi negara tersebut. Pandangan ini kemudian dipertegas melalui retorika yang menyatakan bahwa langkah masa depan ICC dapat memiliki dampak negatif terhadap stabilitas dan perdamaian internasional.

Pemahaman mendalam terhadap motivasi ini adalah langkah penting untuk memahami kompleksitas hubungan antara AS dan ICC, serta dampaknya terhadap lembaga hukum internasional.

Dampak Langsung Sanksi Terhadap Operasional ICC

Sanksi yang diperluas oleh Amerika Serikat terhadap Mahkamah Pidana Internasional (ICC) memberikan tekanan signifikan terhadap kemampuan operasional lembaga tersebut. Langkah ini tidak hanya berdampak pada aspek administratif, tetapi juga memengaruhi efektivitas ICC dalam menjalankan misi utamanya untuk menegakkan hukum internasional atas kejahatan berat, seperti genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Hambatan pertama yang muncul adalah soal pendanaan. Dengan adanya pembatasan ekonomi akibat sanksi, ICC menghadapi tantangan dalam mengakses sumber daya keuangan yang diperlukan untuk mendukung penyelidikan, proses peradilan, dan koordinasi operasional. Banyak lembaga donor atau mitra keuangan mungkin ragu untuk menyediakan bantuan demi menghindari risiko terkena dampak sanksi.

Lebih lanjut, sanksi ini memperumit kemampuan ICC untuk membangun kerja sama internasional. Negara-negara mitra yang sebelumnya bersedia mendukung misi ICC kini mungkin mengambil langkah berhati-hati atau bahkan menarik dukungan akibat tekanan diplomatik dari AS. Hal ini secara langsung mengurangi akses ICC terhadap bukti, saksi, atau tersangka yang berada di yurisdiksi negara-negara tersebut.

Selain itu, muncul ancaman terhadap perlindungan pribadi staf ICC. Pembatasan visa dan ancaman tindakan hukum terhadap pejabat utama ICC dapat menghambat mobilitas mereka, baik untuk kepentingan penyelidikan di lapangan maupun untuk mengikuti pertemuan internasional penting. Ketakutan terhadap potensi sanksi individu juga dapat mengurangi minat para ahli hukum internasional bergabung dengan lembaga tersebut.

Lingkungan kerja global bagi ICC turut terpengaruh, menciptakan ketegangan politik yang menghambat niat negara-negara untuk berkoordinasi melalui mekanisme hukum internasional. Dalam jangka pendek, sanksi ini dapat melemahkan kemampuan ICC membangun kredibilitas serta menunda proses pengadilan yang mendukung hak-hak korban kejahatan berat.

Implikasi bagi Sistem Hukum Internasional

Keputusan Amerika Serikat untuk memperluas sanksi terhadap Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court, ICC) dapat memberikan dampak signifikan bagi keberlanjutan sistem hukum internasional. ICC adalah institusi yang dibentuk untuk mengadili kejahatan paling serius, seperti genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Tindakan AS untuk menghukum individu yang bekerja sama dengan ICC, termasuk para pejabat tinggi, berpotensi melemahkan upaya global untuk menegakkan keadilan internasional.

Langkah ini memunculkan beberapa tantangan bagi legitimasi hukum internasional, di antaranya:

  • Erosi Otoritas ICC: Jika negara-negara besar seperti AS menolak mendukung ICC, hal ini dapat memicu efek domino di mana negara lain juga mengikuti langkah yang sama, sehingga mengurangi daya tarik institusi tersebut sebagai alat penegakan hukum global.
  • Kompromi Kerja Sama Multilateral: Sanksi terhadap ICC dapat menghambat hubungan diplomatik antara negara-negara anggota PBB yang mendukung ICC dan AS, menurunkan tingkat kerja sama dalam menangani kasus-kasus besar yang menuntut perhatian internasional.
  • Ancaman terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia: ICC dirancang untuk memberikan akses hukum kepada korban kejahatan internasional, namun tindakan AS berisiko merusak kemampuan institusi ini untuk memproses kasus dan memberikan keadilan kepada individu yang paling terdampak.
  • Norma Hukum Global yang Terancam: Sanksi ini mengirimkan pesan bahwa hukum internasional dapat dilawan oleh kekuatan negara tertentu, menempatkan ICC dalam posisi yang semakin terisolasi.

Sementara itu, sistem hukum internasional juga akan menghadapi peningkatan ketegangan politik. Negara-negara yang mendukung ICC akan dihadapkan pada konflik kepentingan antara menjaga komitmen mereka terhadap institusi hukum global dan mempertahankan hubungan strategis dengan AS. Ketidakpastian ini dapat menghambat perkembangan mekanisme hukum yang lebih komprehensif.

Langkah AS yang menargetkan ICC bisa memberikan preseden negatif, yang memperkuat pandangan skeptis bahwa hukum internasional sering kali tunduk pada kekuatan politik negara-negara besar. Namun, dalam konteks jangka panjang, tindakan ini memunculkan kebutuhan akan reformasi dan penguatan institusi hukum global untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip keadilan tetap tegak di tengah dinamika politik yang berubah-ubah.

Perspektif Global: Tanggapan Negara-Negara Lain terhadap Langkah AS

Langkah Amerika Serikat (AS) dalam memperluas sanksi terhadap Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah memicu beragam reaksi dari komunitas internasional. Banyak negara dan organisasi internasional melihat kebijakan tersebut sebagai ancaman potensial terhadap prinsip-prinsip hukum internasional dan keadilan global. Beberapa negara bahkan secara terbuka menyuarakan kekhawatiran mereka atas dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh langkah AS terhadap tata kelola hukum internasional.

Reaksi dari Negara-Negara Eropa

Negara-negara Eropa, yang umumnya memiliki komitmen kuat terhadap supremasi hukum internasional, secara garis besar menyayangkan tindakan AS ini. Uni Eropa, misalnya, telah mengeluarkan pernyataan yang menyoroti pentingnya peran ICC dalam mengadili kejahatan internasional, seperti genosida dan kejahatan perang. Dalam pandangan mereka, langkah AS dapat melemahkan legitimasi ICC dan menciptakan preseden negatif di arena global. Selain itu, pejabat tinggi dari Jerman dan Prancis turut menyampaikan kritik langsung, menyebutkan bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan pemeliharaan keadilan.

Respon dari Negara-Negara Berkembang

Negara-negara berkembang umumnya memberikan tanggapan yang beragam. Sebagian di antaranya melihat inisiatif AS sebagai bentuk intervensi yang dapat memengaruhi independensi lembaga internasional seperti ICC. Negara-negara Afrika, misalnya, memiliki catatan sejarah yang kompleks dengan ICC, tetapi tetap memandang langkah AS sebagai tindakan yang dapat menghambat proses pengadilan atas pelanggaran HAM berat yang terjadi di berbagai belahan dunia.

Sikap Lembaga Internasional

Organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Amnesty International turut bersuara terkait isu ini. Mereka menegaskan bahwa upaya mendelegitimasi ICC adalah ancaman serius bagi sistem hukum internasional. Dalam pernyataannya, PBB menekankan tentang perlunya melindungi independensi lembaga-lembaga hukum global dari tekanan politik yang dapat memengaruhi tugas mereka.

“Mahkamah Pidana Internasional adalah pilar keadilan global yang penting. Menghambat operasionalnya berarti merusak harapan akan keadilan bagi korban pelanggaran serius,” ujar direktur Amnesty International.

Dampak pada Hubungan Diplomatik

Secara keseluruhan, tindakan AS telah memengaruhi hubungan diplomatiknya dengan beberapa negara yang memiliki aliansi kuat dengan ICC. Beberapa negara mitra kini menghadapi dilema antara mendukung AS sebagai sekutu atau mempertahankan dukungan mereka terhadap lembaga hukum internasional. Ketegangan ini berpotensi menciptakan disonansi dalam kerja sama multilateral di bidang keadilan internasional.

Ancaman terhadap Keamanan Dunia: Benarkah ICC Dihentikan oleh AS Menimbulkan Risiko Global?

Langkah Amerika Serikat untuk memperluas sanksi terhadap Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) dianggap sebagai tindakan yang dapat berimplikasi pada keamanan dunia. Tindakan ini muncul sebagai reaksi terhadap penyelidikan ICC terkait dugaan kejahatan perang yang dilakukan oleh pasukan AS di Afghanistan. Kebijakan Washington tersebut memunculkan pertanyaan mengenai bagaimana penghentian atau pelemahan ICC oleh negara adidaya ini dapat berdampak pada stabilitas global.

ICC dibentuk sebagai institusi internasional untuk mengadili individu yang dituduh melakukan kejahatan paling serius, seperti genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, langkah AS untuk memberlakukan sanksi pada pejabat ICC, seperti pembekuan aset dan pembatasan perjalanan, memunculkan perdebatan. Beberapa pihak melihat tindakan tersebut sebagai upaya untuk melemahkan supremasi hukum global, sehingga dapat menciptakan celah bagi pelaku kejahatan internasional untuk berlindung dari tuntutan hukum.

Risiko dari penundaan atau penghentian operasional ICC oleh AS juga berpotensi menyebabkan kerugian pada sistem hukum internasional. Tanpa dukungan negara besar seperti AS, ICC menghadapi tantangan kredibilitas, yang pada akhirnya dapat menghambat kemampuan mereka dalam mengadili pelaku kejahatan serius. Kondisi tersebut berpotensi memperkuat impunitas di beberapa negara, terutama di wilayah konflik yang sudah rentan terhadap instabilitas politik dan sosial.

Skeptisisme terhadap ICC seringkali didasarkan pada kekhawatiran negara-negara besar tentang kedaulatan dan kebijakan dalam negeri mereka. Meski demikian, penting untuk mencatat bahwa ICC bertindak sebagai mekanisme penting dalam menjaga keadilan global. Pelemahan institusi ini oleh tindakan unilateral dapat berpotensi memicu ketidakpastian hukum internasional, sehingga memungkinkan eskalasi konflik di tingkat global.

Dampak dari kebijakan AS terhadap ICC ini juga menyisakan ruang terbuka untuk tanya jawab yang lebih besar. Apakah langkah ini mencerminkan ketidakseimbangan kekuatan dalam sistem internasional, ataukah benar-benar mengarah pada risiko yang lebih luas dalam menjaga keamanan global? Fakta bahwa ICC berfungsi sebagai garda terakhir untuk melawan pelaku kejahatan besar membuat posisi institusi ini sangat vital dalam tata dunia internasional yang stabil.

Perbandingan: Sikap AS terhadap ICC dengan Lembaga Multilateral Lain

Amerika Serikat memiliki pendekatan yang cenderung kompleks dan terkadang ambivalen terhadap lembaga-lembaga multilateral. Dalam konteks Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC), AS secara konsisten menunjukkan sikap skeptis sejak lembaga ini didirikan melalui Statuta Roma pada tahun 1998. Walaupun banyak negara lain mendukung ICC sebagai bagian dari upaya memperkuat keadilan internasional, AS memilih untuk tidak meratifikasi Statuta Roma dengan alasan melindungi kedaulatan nasional, personel militernya, dan kebebasan bertindak di ranah luar negeri.

Sikap ini berbeda dengan pendekatan AS terhadap lembaga multilateral lainnya seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Dalam kedua lembaga tersebut, meskipun terdapat ketegangan di sejumlah isu, AS pada dasarnya memandangnya sebagai alat untuk memperkuat kepentingan geopolitik dan ekonomi. AS sering memanfaatkan pengaruhnya dalam PBB melalui Dewan Keamanan dan badan-badan terkait untuk mendorong agenda-agenda strategis seperti keamanan internasional dan promosi nilai-nilai demokrasi. Dalam WTO, meskipun pernah mengkritik kebijakan perdagangan tertentu, AS tetap aktif berperan karena manfaat langsung bagi ekonomi dalam menjaga sistem perdagangan bebas.

Namun, hal ini tidak berlaku bagi ICC. AS bahkan telah mengambil langkah agresif seperti pemberlakuan sanksi terhadap pejabat ICC yang menyelidiki tindakan potensial dari militer dan pihak-pihak terafiliasi dengan AS dalam konflik seperti di Afghanistan. Langkah ini sangat kontras dengan sikap negara tersebut terhadap PBB di mana kebijakan lebih sering berwujud diplomasi meskipun dengan tekanan politik tertentu.

Kebijakan AS terhadap ICC mencerminkan kecenderungan untuk menghindari keterlibatan dalam mekanisme hukum internasional yang dinilai bisa membatasi otonomi nasionalnya. Sementara itu, partisipasi AS dalam lembaga seperti PBB atau WTO lebih mencerminkan pendekatan selektif yang bertujuan melayani kepentingan strategis, baik dalam hal ekonomi maupun geopolitik. Sikap kontras ini menunjukkan bagaimana AS menimbang manfaat dan risiko dari interaksi dengan berbagai lembaga multilateral, tergantung pada konteks dan kepentingan nasional yang ingin dicapai.

Apakah Sanksi AS Merusak Kredibilitas Lembaga Internasional?

Keputusan Amerika Serikat untuk memperluas sanksi terhadap Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) telah memicu perdebatan global mengenai dampaknya terhadap kredibilitas lembaga-lembaga internasional. ICC, yang didirikan berdasarkan Statuta Roma tahun 1998, merupakan mekanisme yudisial utama untuk menuntut kejahatan internasional seperti genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, langkah AS untuk memberlakukan sanksi terhadap individu dan entitas terkait ICC menimbulkan pertanyaan kritis mengenai legitimasi dan independensi institusi tersebut.

AS mempermasalahkan penyelidikan ICC atas dugaan kejahatan perang yang dilakukan oleh pasukan Amerika di Afghanistan. Washington menganggap langkah tersebut sebagai bentuk pelanggaran terhadap kedaulatannya, yang kemudian mendorong pengenaan sanksi terhadap pejabat ICC, termasuk pembekuan aset dan pembatasan visa. Sanksi ini tidak hanya memengaruhi operasi ICC secara langsung tetapi juga menimbulkan efek domino yang dapat melemahkan kepercayaan pada lembaga internasional secara keseluruhan.

Kritikan terhadap sanksi AS mencakup beberapa aspek penting:

  • Stigmatisasi Lembaga Internasional: Sanksi AS menciptakan persepsi bahwa ICC dan lembaga multilateral sejenis dapat menjadi target politisasi oleh negara-negara kuat.
  • Pembatasan Independensi Hukum: Tindakan tersebut menghambat upaya lembaga internasional untuk bertindak netral dan independen dalam penyelidikan internasional.
  • Dampak pada Kepercayaan Global: Negara-negara berkembang dan pihak-pihak lain dapat kehilangan kepercayaan terhadap institusi global yang dianggap tunduk pada tekanan politik negara tertentu.

Sebaliknya, pihak pendukung AS berdalih bahwa langkah ini adalah bentuk perlindungan terhadap kedaulatan negara dan upaya untuk mencegah penyalahgunaan yurisdiksi internasional. Mereka berargumen bahwa ICC tidak memiliki wewenang untuk menyelidiki tanpa persetujuan negara yang bersangkutan, khususnya negara yang tidak meratifikasi Statuta Roma.

Keadaan ini menunjukkan tantangan bagi lembaga internasional dalam mempertahankan integritasnya di tengah tekanan geopolitik, sekaligus menggarisbawahi peran negara-negara besar dalam membentuk dinamika hukum internasional.

Kesimpulan: Masa Depan ICC dan Hubungan AS

Keberadaan Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC) telah lama menjadi kontroversi di panggung internasional, terutama bagi Amerika Serikat. Seiring dengan diperluasnya sanksi terhadap ICC oleh pemerintah AS, ketegangan antara kedua pihak menjadi semakin nyata. Langkah ini mengisyaratkan pertanyaan yang lebih luas mengenai peran ICC dalam menjaga keamanan global dan hubungannya dengan negara-negara besar.

Status ICC sebagai badan internasional yang bertujuan untuk mengadili kejahatan perang, genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan seringkali membuat ICC berada dalam posisi yang sulit, terutama ketika berhadapan dengan negara-negara yang memilih untuk tidak menjadi anggota atau meragukan legitimasi pengadilan tersebut. Dalam hal ini, Amerika Serikat telah menyatakan bahwa tindakan ICC dapat mengancam kedaulatan nasional dan berpotensi menargetkan warga negara AS, terutama mereka yang bertugas dalam operasi militer di luar negeri.

Peningkatan sanksi oleh AS, termasuk pembatasan visa dan aset terhadap pejabat ICC, tidak hanya berpengaruh pada operasional pengadilan itu sendiri, tetapi juga memberikan sinyal kepada negara-negara lain tentang pandangan AS terhadap pengadilan internasional ini. Hal ini bisa berimbas pada penurunan dukungan global terhadap ICC di masa depan, apabila negara-negara lain mulai mempertimbangkan langkah serupa.

Namun, di sisi lain, para pendukung ICC berpendapat bahwa pengadilan tersebut sangat penting untuk menegakkan keadilan dan akuntabilitas internasional atas pelanggaran HAM berat. Mereka khawatir bahwa sanksi seperti ini dapat melemahkan kemampuan ICC untuk menjalankan mandatnya secara efektif. Dalam jangka panjang, ketegangan ini berpotensi menciptakan konsekuensi diplomatik yang lebih besar dan memengaruhi upaya pengadilan internasional lainnya.

Hubungan antara AS dan ICC juga menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana pengadilan internasional dapat beroperasi secara independen dalam menghadapi tekanan politik dari negara-negara kuat. Ke depan, pola hubungan ini akan menjadi indikator penting bagi keberlangsungan tata hukum internasional serta upaya global dalam mencegah kejahatan berat. Pertanyaan mengenai reformasi, dukungan multilateral, dan legitimasi internasional ICC tetap relevan di tengah dinamika politik AS dan dunia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *