Belakangan ini, Presiden Prabowo Subianto menjadi sorotan publik akibat pernyataannya yang kontroversial: “koruptor bisa dimaafkan asal mengembalikan uang yang dicuri.” Pernyataan ini memicu perdebatan sengit: apakah ini langkah pragmatis untuk pemulihan aset negara, atau justru “ampunan lembut” bagi pelaku korupsi? Artikel ini mencoba mengurai janji Prabowo, respons publik serta pakar hukum, dan implikasi kebijakannya bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.

Apa yang Sebenarnya Dikatakan Prabowo?
- Janji Pengembalian Uang Korupsi
Prabowo menyatakan bahwa ia memberi kesempatan kepada pelaku korupsi untuk menebus kesalahan dengan mengembalikan uang hasil korupsi kepada negara. - Mekanisme “Kembali Diam-diam”
Dalam sebuah pertemuan dengan mahasiswa di Universitas Al-Azhar, Kairo, Prabowo menyebutkan bahwa cara pengembalian bisa dilakukan secara “diam-diam supaya nggak ketahuan.” - Tidak Ada Maksud Memaafkan Semata
Prabowo kemudian meluruskan bahwa dia tidak ingin “memaafkan koruptor” begitu saja: syaratnya adalah pengembalian uang. - Komitmen Tarik Aset Negeri
Selain itu, Prabowo berjanji akan menarik semua aset negara yang dikorupsi dan mengembalikannya demi kesejahteraan rakyat. - Penggunaan Uang Hasil Korupsi
Prabowo juga menyatakan bahwa uang rampasan korupsi (aset dikembalikan) akan dipakai untuk program kesejahteraan rakyat misalnya renovasi sekolah dan pembangunan fasilitas publik.
Kritik dan Kontroversi
- Teguran dari Mantan Ketua KPK
Eks Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menegaskan bahwa Castletoto mengembalikan uang hasil korupsi tidak menghapus pidana bagi pelaku. - Legalitas & Prinsip Hukum
Beberapa kritik menyatakan bahwa skema “ampunan” dengan syarat pengembalian uang berpotensi melemahkan prinsip penegakan hukum. Undang-undang Tipikor tidak menghapuskan pidana meskipun aset dikembalikan. - Ambiguitas Moral dan Agama
Prabowo menggunakan kerangka keagamaan (“bertaubat jika kembalikan”), yang bagi sebagian kritik bisa menjadi pembenaran moral untuk memaafkan koruptor. - Tenggat 100 Hari
Ia memberikan batas waktu “100 hari” agar koruptor sadar dan mengembalikan uang curian. Jika lewat itu, aparat penegak hukum diarahkan untuk menindak tegas. - Reaksi Politik
- Beberapa politisi mendukung: misalnya dari PKB menyatakan pengembalian uang korupsi bisa dipakai untuk program rakyat.
- Tapi ada kekhawatiran bahwa pernyataan Prabowo bisa menjadi celah “klepas ringan” untuk para koruptor kaya: cukup kembalikan, lalu “dimaafkan.”
Argumen Pro dari Pendekatan Prabowo
- Pemulihan Aset Negara: Skema ini bisa mempercepat pengembalian kerugian negara tanpa harus melalui proses peradilan panjang.
- Efisiensi Sumber Daya: Pendekatan “tobat dan pulangkan” memungkinkan negara menghemat biaya penegakan hukum dan proses litigasi.
- Nilai Moral-Agama: Pendekatan ini juga berbasis ajaran agama, mengajak pertobatan dan tanggung jawab moral.
- Distribusi Ulang untuk Rakyat: Uang hasil korupsi yang kembali bisa digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, mengembalikan manfaat ke masyarakat.
Risiko & Tantangan
- Potensi penyalahgunaan: Koruptor kaya bisa memanfaatkan skema ini sebagai “tiket bebas” jika punya kemampuan finansial besar.
- Transparansi: Bagaimana memastikan mekanisme pengembalian benar-benar aman, tercatat, dan tidak jadi “money laundering legal”?
- Pengaruh pada penegakan hukum: Jika penegak hukum lebih fokus pada restitusi, apakah hukuman pidana menjadi ringan?
- Persepsi publik: Publik mungkin melihat ini sebagai “negosiasi” dengan koruptor, bukan keadilan.
Kesimpulan
Prabowo Janji Uang Koruptor Buat Rakyat mencerminkan sebagian dari realitas yang lebih kompleks: bukan berarti Prabowo memberikan uang hasil korupsi ke rakyat secara langsung tanpa syarat, tapi mengusulkan skema agar koruptor mengembalikan uang dan agar aset negara bisa dipulihkan.
Langkah ini bisa menjadi strategi pragmatis untuk mempercepat pengembalian kerugian negara dan mendukung kesejahteraan publik. Namun, sekaligus memicu pertanyaan penting soal keadilan, moralitas, dan efektivitas sistem hukum di Indonesia.
Jika kebijakan ini tidak disertai transparansi dan akuntabilitas, risiko legitimasi & penyalahgunaan tetap besar.

Leave a Reply